Namaku Saini, aku lahir sepuluh tahun lalu di Kepulauan Sebatik, Provinsi Kalimantan Utara. Wilayah dimana jika menggunakan kapal motor aku bisa sampai di Tawau, Negara Malaysia dalam waktu 15 menit saja, dan bahkan sebagian dari pulau kami ini sendiri berbagi dengan Malaysia. Ekonomi keluargaku sederhana walau kupikir cenderung susah.Mamaku meninggalkanku menjadi TKW di Singapura sejak 5 tahun lalu, abahku adalah seorang petani kelapa sawit sejak 3 tahun lalu, sebelum didirikannya Pabrik Kelapa Sawit oleh Pemerintah di kotaku, abah harus menjual hasil panen sawitnya dalam bentuk Buah Tandan Segar ke pengusaha untuk dijual ke Tawau dengan harga rendah. Hal ini ironis karena segala kebutuhan kami juga lebih banyak kami dapatkan dari Tawau, Malaysia. Sehingga ada selentingan dari masyarakat sekitar yang pernah aku baca di surat kabar yang cocok dengan kami.
“Garuda di Dadaku, Harimau Malaya di Perutku”
Abahku adalah seorang yang pekerja keras, jikalau pekerjaannya di kebun tidak terlalu banyak dia sempatkan untuk menjemputku di sekolah, ya karena hanya aku yang dia punya, aku tidak punya kakak atau adik, kami berdua ibarat dua batang kara, karena pada dasarnya abah adalah penduduk asli Bangkalan, Madura, sebelum memutuskan merantau pada usia 19 tahun dan menikah dengan mama pada umur 25 tahun.
Uang adalah hal yang unik di kota kami, jika kalian terbiasa dengan Rupiah, kami harus matematis dalam membelanjakan uang kami, karena kami memakai dua jenis mata uang, Rupiah dan Ringgit. Akses yang sulit dari Ibukota Nunukan membuat kami mendapat penawaran yang lebih ekonomis dari negara tetangga dengan harga yang lebih ekonomis juga untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Mirisnya, kami tidak berdaya karena nilai tukar Rupiah ke Ringgit yang mereka tawarkan di atas kurs pasar, jikalau kurs pasar berada pada level 1 Ringgit = Rp. 2.700, maka mereka akan menetapkan Kurs 1 Ringgit = Rp. 3.000, situasi yang aneh juga dapat dilihat ketika banyak warung makanan disini menetapkan harga makanannya dengan Ringgit, pernah suatu ketika aku melihat seorang Wartawan yang bertugas di Sebatik kaget karena dia harus membayar semangkuk bakso dengan harga 4 Ringgit, karena dia tidak memiliki, dia pun membayar dengan uang Rp. 20.000, namun hanya mendapat kembalian 2 Ringgit, yang notabenenya jika dengan kurs Rp. 3.000 dia akan rugi sebanyak Rp. 2.000, hidup disini akan sulit kalau di awal, kita harus membiasakan dengan sistem pembayaran disini yang “Double Currency”, tapi jika sudah terbiasa akan mudah. Begitu juga ketika kita membeli produk sehari-hari, jikalau kita memberi produk susu dalam negeri seharga Rp. 9.000, kita dapat mendapat produk susu dari Malaysia seharga Rp 6.000, beginilah hidup di perbatasan, dan kami tetap harus mencintai Indonesia. Continue reading